Saturday, October 5, 2013

Malaikat Kecil

Malaikat Kecil..

Aku tidak pernah tahu bagaimana bentuk fisik malaikat itu..
Entah besar tampan ataupun kecil mempesona..
Bisa saja dia berbentuk manusia sederhana yang sabar dan dewasa..

Aku teringat malam itu, dingin yang terus menusuk tulang rusuk ketika semua makhluk sudah menikmati malamnya dengan keluarga..
Kita masih bersama..
 Tidak peduli dinginnya malam itu, menggerikannya malam hari, dan macet yang tidak manusiawi itu.
Ini malam sabtu, seharusnya semua makhluk sudah dirumah berkumpul dengan keluarga. Itu sulitnya hidup dikota besar.

Malam itu seperti biasa setelah menyelesaikan hari disekolah kita (re: aku dan kamu) langsung pulang.
Hari ini seperti biasa hanya ada buku dan heels lusuh yang menemani hari-hariku. Dan obat merah yang sengaja kubawa untuk mengobati lukanya.

Seperti biasa kegiatan KBM harus kulalui sebelum aku memulai kenangan demi kenangan denganmu.

Aku tidak pernah mau menghampirimu ketika disekolah, dan darisitu obat merah yang kubawa tidak digunakan.
Lupakan tentang obat merah itu, karena aku sudah tenang ketika lukamu sudah diobati hari itu.
Kenapa aku terlalu peduli dengan lukamu? Seharusnya aku senang bukan karena aku pikir itu karma kamu telah menyakitiku.
Tapi itu bukan aku, lebih baik kamu tidak pernah merasakan sakitnya.
Kalaupun itu sudah terlanjur, aku mau bertanggung jawab atas rasa sakitmu.

Akhirnya 
Kita terjebak diwaktu dan ruang bersama,
Macet yang tidak manusiawi itu, membuat kita memutuskan untuk berjalan.
Rasa lapar yang terus membuncah, ketika itu seruan Tuhan untuk beribadah Maghrib sudah berkumandang, bukan kita kalau tidak melaksanakannya. Bukan begitu?

Seusai sholat..
Entah semesta masih marah atau memang sedang menyesuaikan jembatan yang ditutup, kukira macet sudah tidak lagi ada.
Ah, membosankan.

Aku harus jalan lagi, jauh sekali menurutku. Karena saat itu rasanya pegal sekali.
Aku ingat hanya gorengan 3 dan sebotol air minum yang masuk keperut kita malam itu.
Kita kira kami langsung memakannya, tetapi kami harus berjalan lagi untuk menemukan tempat duduk. Kenapa mencari tempat duduk? Karena makan sambil berdiri itu tidak sopan.

Entah setelah itu, apa yang menyelinap dipikiranku tentang orang yang terus berdiri ketika aku masih berusaha menhabiskan gorengan itu.
Aku sempat menyembunyikan rasa takut, ketika orang itu lalu berjalan ketika kami usai menghabiskan gorengan kami. Tapi rasa takut itu terus terus mencekam.
Apa jadinya tanpa kamu, ah sebenarnya malas membahas ini karena bagian ini menggelikan kita aku sudah mulai teriak-teriak ketakuan, tapi kamu malah asik dengan telepon genggam.

"Aku takut, kamu sadar tidak orang itu membelakangi kita"
"Oh ya? Tenang kan ada aku"
"KITA HARUS NAIK ANGKOT! KAMU GAUSAH MAIN HANDPHONE TERUS KENAPA SIH?" nada suaraku agak tinggi, karena rasa takut ini bukan main.


Dan kita terus berjalan 200 meter ketika aku terus memaksa untuk naik kendaraan, akhirnya kami berhenti disalah satu sudut jalan dan memutuskan naik kendaraan betapa terkejutnya aku kira kita bakal naik bersama. Aku meneteskan air mata.


Rasa lelah, lapar, kantuk, bahagia, hangat. Ketika kamu masih harus kembali ketempat kita makan gorengan karena tas bekalku ketinggalan


Aku bisa melihat malaikat..
Dalam bentuk yang sederhana, sabar dan dewasa..